Sebelum Orde Baru, 1966, cukup banyak sekolah Tionghoa di Surabaya. Namun, sekolah-sekolah itu ditutup rezim Presiden Soeharto yang sejak awal menganut politik asimilasi. Tak ada ruang untuk budaya, bahasa, atau tradisi Tionghoa berkembang. Bahkan, nama-nama Tionghoa pun dipaksakan untuk diganti dengan bunyi Jawa atau Indonesia.
Salah satu sekolah Tionghoa yang ditutup adalah SD dan SMP Kai Ming di Jalan Kalianyar Wetan, Surabaya. Sekolah ini tinggal sejarah. Namun, para alumninya yang sebagian besar pengusaha sukses mengadakan reuni para guru dan alumni Kai Ming.
Temu kangen ke-60 tersebut digelar di Hotel Shangrilla, Surabaya, Sabtu malam (16/11/2013). Tampak hadir Konsul Jenderal Tiongkok Wang Huagen, politikus Indah Kurnia anggota, taipan Alim Markus, pengusaha Liem Ou Yen, dan masih banyak lagi. Para alumni tak hanya datang dari dalam kota, luar pulau, bahkan dari Hongkong dan Guangzhou.
Soehardjo Gondo, ketua panitia, menjelaskan bahwa Sekolah Kai Ming didirikan pada 1953 oleh Yayasan Yan Ling dari marga Wu. Meski keberadaannya kurang dari 20 tahun, para alumni dan protolannya (maklum, banyak yang DO) tetap menjalin hubungan komunikasi satu sama lain. Yayasan Kai Ming yang telah berjalan 23 tahun diketuai Jusman Purnomo. Yayasan inilah yang rutin mengadakan bakti sosial dan temu kangen.
Salah satu alumni, Trisyanto, khusus datang dari Banjarmasin untuk mengikuti temu kangen di Surabaya. “Saya sudah punya 8 cucu," katanya.
Pada 1950-an itu, Trisyanto datang ke Surabaya naik kapal laut kemudian mendaftar di Sekolah Kai Ming bersama teman-temannya dari Kalimantan. Mereka indekos di Jalan Wijaya Kusuma. Setiap hari ke sekolah dengan bersepeda. Angkutan umum di Surabaya saat itu hanya trem atau kereta listrik.
Ketika Sekolah Kai Ming ditutup, Trisyanto pulang ke Banjarmasin dan bekerja di hutan. Pekerjaan yang sangat berat, katanya. Setelah itu jadi pegawai toko buku. "Saya baru kembali datang ke Surabaya tahun 1990. Saya kaget melihat perkembangan Surabaya sekarang. Beda jauh dengan tahun 1950-an,” katanya.
Rudi sempat mengenyam pendidikan di SD Kai Ming. Dia mengenal huruf dan berbicara bahasa Tionghoa sejak usia empat tahun. Sehingga, dia tak menemukan kesulitan mengikuti pelajaran dalam bahasa Tionghoa alias Mandarin.
"Kami harus bisa bercakap dan menulis Mandarin. Tulisan Mandarin sekarang berbeda dengan dulu," kata Rudi yang didampingi istrinya.
0 Response to "Temu Kangen Alumni Sekolah Kai Ming Surabaya"
Posting Komentar