Orang Eropa yang betah di gubuk derita

blogger templates
Rod Christine, orang Swiss, yang kerasan di pelosok Jawa Timur. 


Makin banyak orang Eropa yang betah tinggal di kampung pelosok di pegunungan Jawa. Mereka ingin hidup sederhana. Sudah bosan dengan kehidupan yang wah, melimpah, banyak fasilitas, modern, serba instan dan serba ada. Ingin hidup tanpa stres.

Itulah yang rupanya mendorong Ibu Rod Christine, orang Swiss, bolak-balik berlibur ke Jawa Timur. Bukannya mencari hotel berbintang atau apartemen mewah di Surabaya, Rod malah tinggal bersama orang kampung di gubuk derita kawasan Trawas, Mojokerto. Daerah Seloliman, kaki gunung Penanggungan yang sejuk, dengan banyak situs candi peninggalan Majapahit.

Setiap pagi Rod jalan-jalan, kemudian senam pagi, katanya untuk menyerap energi surya. Dia juga rajin meditasi. Aneh, orang Barat kok kesasar di hutan! Begitu komentar saya ketika memergoki Rod tengah meditasi di kolam petirtaan Jolotundo yang terkenal itu.

"Saya suka tinggal di sini. Indah sekali dan tenang," kata orang Jenewa yang berbahasa resmi Prancis ini. Bahasa Inggrisnya juga tidak lancar, sama seperti orang Indonesia, sehingga kita bisa berbincang akrab dengan dia.

Di kawasan pegunungan itu, Rod yang punya empat mobil di rumahnya, Swiss, tinggal di gubuk sederhana milik petani penggarap. Bukan rumah-rumah yang bagus milik orang kaya desa. Masak masih pakai kayu, dinding bambu (gedhek), atap daun. Tidak ada listrik. Penerangan hanya pakai lampu teplok.

Tentu saja tidak ada televisi. Si empunya gubuk hanya punya radio kecil yang rupanya juga sudah rusak. Rod makan minum apa saja bersama orang desa yang masuk kategori di bawah garis kemiskinan.

Aneh memang dunia ini! Orang kaya ingin melarat, orang miskin ingin kaya! Kemiskinan itu ternyata punya "keindahan" di mata orang-orang Barat yang sudah maju. Saya teringat beberapa turis yang tinggal di rumah saya di pelosok NTT, dan ternyata kerasan.

Bulan lalu tiba-tiba Mrs Rod menelepon saya. Wah, ternyata dia sedang mencari rumah sederhana di Jogja untuk menetap seterusnya. "Saya minta pensiun dipercepat supaya tinggal di Indonesia," katanya.

Saya cuma menyampaikan selamat datang dan semoga sukses. Padahal, saya belum bisa memenuhi undangannya untuk beribur di Swiss kapan saja saya mau karena dia punya vila yang luas di pegunungan, di hamparan padang rumput hijau, banyak diternak sapi. Ada rumah pembuatan keju khas Swiss.

Hehehe... Gak jadi melancong di Swiss karena tuan rumahnya malah kecantol sama Indonesia.

Belum lama ini saya naik ke kawasan Jolotundo, tempat Rod biasa bermeditasi. Lingkungan sekitar tidak lagi tenang seperti dulu. Banyak warung yang seakan berlomba memutar musik dangdut koplo keras-keras. Ada genset yang menyalurkan listrik, sehingga malam tak lagi gulita. Suara binatang-binatang hutan kalah oleh dangdut dan mesin genset itu.

Mbah Jono pun tak lagi memasak pakai kayu, tapi elpiji 3 kg yang tabungnya hijau itu. Suasana malam yang temaram dengan lampu teplok, obrolan ngalor-ngidul ala orang kampung mulai surut. Para pengunjung pun asyik main HP, ngecas di warungnya Mbah Jono, atau menyetel lagu-lagunya di HP keras-keras.

Mungkin ini yang membuat Rod tidak kerasan lagi di pegunungan Jawa Timur. Dia lebih memilih Jogjakarta yang masih kental budaya Jawanya. Saya sendiri pun sudah ogah-ogahan berlibur ke Trawas karena suasana pedesaannya makin hilang.

0 Response to "Orang Eropa yang betah di gubuk derita"

Posting Komentar