Jazz ala Bubi Chen! Almarhum selalu tersenyum sembari menari-narikan tangannya di atas piano. Saya beruntung mengenal Om Bubi sejak mahasiswa dan kemudian bisa menikmati jazz standar yang tak biasa itu. Saya juga bersyukur bisa menulis profil Bubi Chen panjang lebar di surat kabar di Surabaya.
Akhirnya, saya juga beruntung ikut melekan di Adi Jasa untuk menunggui jenazah Bubi Chen. Juga beruntung mengikuti misa requiem di Adi Jasa malam sebelum jenazah dikremasi di Adi Praya, Kembang Kuning. Mudah-mudahan apresiasi jazz saya ikut naik karena sempat dekat secara fisik dengan beliau.
"Piano di Balai Pemuda ini sudah bobrok. Suaranya gak karuan, kok saya disuruh main," katanya kepada saya usai konser di Balai Pemuda. Saat itu Bubi Chen didapuk untuk mengidupkan kembali Balai Pemuda sebagai tempat pertunjukan musik, khususnya jazz.
Sayang, komunitas jazz Balai Pemuda malah redup setelah sempat beberapa kali bikin konser. Basis penggemar sudah ada, tapi kontinuitasnya yang meragukan. Saat itu Bubi Chen tengah bergulat dengan diabetes yang membuat kakinya diamputasi. Jazz pun ikut sekarat di Kota Pahlawan.
Eh, tak lama kemudian Balai Pemuda terbakar. Arena jazz yang terkenal sejak zaman Belanda itu pun ambyar. Pak Nirwana ikut lesu mengadakan pertunjukan dengan mengundang musisi jazz tingkat nasional. Dan... jazz pun kian meranggas meski tak pernah mati.
Bubi Chen bukan musisi jazz biasa. Dia begawan dan motor penggerak jazz. Dia juga guru piano yang rajin melahirkan musisi-musisi baru seperti Mas Bagus yang tunanetra. Namun, murid-murid Bubi Chen belum punya stamina dan konsistensi seperti guru besarnya.
Setelah Bubi Chen tiada, jazz di Surabaya hanya bisa menggeliat tanpa maestro atau tokoh. Jazz yang memang luwes dari sananya semakin merayap dengan eksperimen, trial and error, suka-suka musisi muda. Ini bisa kita lihat dalam rekaman jazz di SBO TV.
Salut sama SBO yang memberi ruang untuk jazz!
Salut juga pada Suara Surabaya yang masih merawat Jazz Traffic setiap hari. Program jazz yang dulu diasuh mendiang Bubi Chen. Bahkan, Jazz Traffic sudah dikembangkan menjadi sebuah festival jazz pertama di Surabaya yang punya bobot nasional.
Sayang, saya lihat makin lama kualitas jazz di tanah air makin kedodoran. Filsafat dan ideologi jazz ternyata kurang dipahami oleh banyak musisi pop yang sering ditanggap untuk mengisi berbagai festival yang dikemas sebagai "jazz", padahal bukan jazz.
Yah, sekarang memang zamannya kemas-mengemas. Barang apkiran pun bisa dikemas sangat menarik agar bernilai tinggi. Di sinilah bedanya dengan mestro jazz sekaliber Bubi Chen. Beliau dengan enteng dan asyik main musik apa saja, tanpa embel-embel jazz, tapi semua pendengar tahu persis bahwa musik yang keluar adalah jazz.
Salam jazz!
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Jazz Surabaya setelah Bubi Chen"
Posting Komentar