Xie Fang lagi selancar di laman Zhongguo sembari menunggu pasien. |
Bu dokter lulusan Universitas Shanghai, kemudian lanjut di Universitas Hangzou untuk studi akupunktur Tiongkok, ini lantas menunjukkan foto yang dipajang di atas meja kerjanya. Dekat alat pengukur tekanan darah.
"Itu anak saya. Umurnya sudah 23 tahun," kata Xie Fang seraya tersenyum.
Anaknya bernama Wang Zhewen. Cuma satu karena ada kebijakan satu anak di negeri Tiongkok. Bahasa Indonesia wanita asal Zhongguo ini memang makin fasih saja. Bicaranya pun makin cepat. Dia tak perlu penerjemah lagi seperti tiga empat tahun lalu.
Seperti biasa, Xie Fang meraba telapak dan jari tangan kiri dan kanan saya. Ini prosedur wajib bagi sinse Tionghoa untuk mendeteksi penyakit seseorang. "Darah kotor. Kolesterol banyak," ujarnya.
Tepat sekali. Sehari sebelumnya saya dan teman-teman menerima rapor checkup dari sebuah laboratorium di Surabaya. Masalah saya, seperti dulu-dulu, adalah kolesterol total yang tinggi. Begitu pula trigliserida.
Xie Fang tidak butuh hasil tes laboratorium untuk mengetahuinya. Dia cukup pegang tangan kita dan dalam sekejab sudah nerocos menasihati kita tentang makanan sehat. "Jangan makan goleng-golengan. Rajin olahlaga," katanya.
Sama persis dengan pesan dokter dari Laboratorium Caya di kawasan MERR 3 Semolo Surabaya. Nasihat yang sederhana, semua orang tahu, tapi selalu dilanggar. Nasi goreng, ikan goreng, gule kambing, mi goreng, pisang goreng, telur dadar.. nasi padang... terlalu enak untuk ditinggal begitu saja. Diet rendah lemak itu gampang-gampang susah.
Ritual berikut adalah masuk ke kamar praktik. Wuih, saya sudah merasa sakit meski belum dipukul-pukul di punggung, bawah tengkuk. Maklum, sudah sering diterapi oleh bu dokter + akupunkturis ini. Ya, sakit banget memang sebelum dikasih api.
Lalu dimulailah kop dengan gelas itu. Darah kotor disedot selama 10 menitan. Sementara itu, dua pasien baru masuk dan casciscus dalam bahasa Tionghoa logat Surabaya. Pasien-pasien di Klinik Cheng Hoo Surabaya ini rata-rata sudah langganan. Xie Fang sudah dianggap keluarga sendiri.
Kop punggung selesai. Gelas penampung darah itu pun dicopot. "Lihat ini, kental sekali. Sangat kotor," ujar Xie Fang menunjukkan darah yang baru disedot. Hm... rasanya enteng setelah terapi tradisional ini.
Xie Fang kemudian ingin membersihkan gelas itu. Saya pun mencegah. "Saya sendiri saja yang membersihkan. Bu Dokter tangani bapak-bapak itu aja," kata saya.
Baik benar wanita Zhejiang 13 November 1957 ini. Pasien diperlakukan dengan sangat hormat meskipun sering tidak bayar. Bahkan, ketika hendak pamit, dia memberikan oleh-oleh berupa teh celup atau semacam jamu Tiongkok yang katanya sangat bagus untuk tubuh.
"Kamu minum itu saja," katanya.
Beli obat apa lagi?
"Tidak usahlah. Jangan makan golengan, jangan makan malam hari," Xie Fang berpesan.
Xie Fang tidak hanya bicara tapi juga melakoni gaya hidup sehat ini. Dia memilih masak sendiri karena kurang cocok dengan makanan Surabaya yang banyak santan dan minyaknya. Dia hanya makan makanan yang dikukus atau direbus.
Setiap hari dia jalan kaki pergi pulang ke tempat kerja sejauh lima kilometer. Dia juga rutin melakukan senam sehat ala Tiongkok di tempat tinggalnya.
Karena itu, postur tubuh orang Tiongkok asli alias totok ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang Tionghoa Surabaya yang umumnya gemuk-gemuk. Warga keturunan Tionghoa di Indonesia juga senang makan enak di restoran mewah. Goleng-golengan disikat habis... maknyussss.
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
0 Response to "Xie Fang Akupunkturis yang Baik Hati"
Posting Komentar