Jejak Ibu Teresa di Surabaya

blogger templates


Lakukanlah hal-hal kecil dengan cinta yang besar!

Pesan Ibu Teresa itu terus menggema di seluruh dunia. Selama 23 tahun sejumlah umat Katolik di Surabaya berusaha menapaki "jalan kecil" orang suci dari Kolkata (Kalkuta), India, itu. Mereka tergabung dalam Kerabat Kerja Ibu Teresa (KKIT) Surabaya.

Tak banyak orang yang mengetahui kiprah KKIT, termasuk orang Katolik sendiri. Sebab, mereka bekerja dalam diam. Bekerja, melayani kaum miskin, kaum terpinggirkan, yang sering jadi korban penggusuran Satpol PP karena dianggap melanggar peraturan daerah.

Salah satu kegiatan KKIT yang lumayan kelihatan adalah warung sehat di pinggir rel kereta api Stasiun Wonokromo. Diadakan pada minggu pertama,  ketiga, dan kelima pukul 16.00. Para kerabat datang membawa makanan, berbincang dengan warga T4 (tempat tinggal tidak tetap), mendengar curhat mereka. Para kerabat menganggap para T4 itu sebagian bagian dari keluarga sendiri.

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku! (Matius 25:40).

Sayang, pelayanan warung sehat KKIT di Wonokromo vakum selama dua bulan terakhir karena ada kebijakan baru dari PT Kereta Api Indonesia. Kepala stasiun tak lagi mengizinkan. Dia khawatir acara warung sehat itu justru menambah "gepeng" alias T4 di stasiun. Yah, beda kepala beda kebijakan.

Yuniwati, koordinator KKIT Surabaya, mengatakan pihaknya akan mencari lokasi lain yang lebih tepat sasaran. Agar misi mulia Bunda Teresa bisa dirasakan benar-benar oleh masyarakat miskin, lemah, terpinggirkan. "Kami sedang survei lokasi," ujar ibu asal Ende, Flores, NTT, kepada saya via telepon.

Awalnya saya terkejut ketika Bu Yuniwati mengaku berasal dari Flores. Kok namanya seperti orang Jawa?

"Kamu asli dari Flores Timur ya?" tanya Bu Yuni yang saat itu sedang berziarah di Gua Maria Lourdes, Puhsarang, Kediri.

"Lho, Ibu tahu dari mana?"

"Hehehe.... Logat kamu itu lho, pasti Flores Timur. Nggak bisa ditutup-tutupi deh. Hehehe...."

Hehehe....

Begitulah. Logat Flores atau NTT memang sangat berbeda antardaerah. Karena itu, siapa pun bisa menembak dengan jitu asal-usul seseorang hanya dengan mendengar logat bicaranya. Walaupun sudah 20 tahun atau 30 tahun atau 40 tahun tinggal di Jawa Timur, logat asli dari bahasa ibu tidak akan bisa luntur begitu saja. Kecuali ada mesin terapi bicara yang bisa mengubah logat seseorang.

KKIT Surabaya diresmikan Uskup Surabaya (waktu itu) Monsinyur Aloysius Joseph Dibjokarjono pada 7 Oktober 1990. Sebagai gerakan spiritual yang terinspirasi dari gerakan cinta kasih Ibu Teresa, KKIT berkembang perlahan-lahan. Tidak main gebyar seperti kelompok kategorial lain di gereja semacam karismatik atau gebyar-gebyar show rohani di hotel berbintang atau pusat belanja.

"KKIT itu bukan sebuah organisasi, melainkan gerakan. Gerakan untuk menjalankan spiritualitas Ibu Teresa, khususnya dalam menyapa kaum miskin dan paling miskin di sekitar kita," tutur Yuniwati.

Karena itu, meskipun baru saja merayakan hari jadi ke-23, aktivis KKIT atau para kerabat ini jumlahnya tidak banyak. Toh, mereka terus bergerak melakukan berbagai kegiatan seperti adorasi, pembinaan rohani, sick & suffering, hingga warung sehat.

Gerakan kecil ala Ibu Teresa ini bisa menjadi semakin besar jika didukung pihak hirarki, umat Katolik, masyarakat luas, dan pemerintah pusat maupun daerah. Beata Ibu Teresa dulu pun memulai gerakan ini dengan sebuah langkah kecil. Menolong orang-orang miskin, gelandangan, pengemis, kaum marginal, dengan ikhlas dan penuh cinta. Tapi berkelanjutan, tak pernah lelah, seumur hidupnya.

Siapa nyana gerakan Ibu Teresa terus membesar dan akhirnya mendapat perhatian seluruh dunia. Lakukanlah hal kecil dengan cinta yang besar!

“Not all of us can do great things. 
But we can do small things with great love.”

0 Response to "Jejak Ibu Teresa di Surabaya"

Posting Komentar